BPHN.GO.ID – Jakarta. Pemerintah berupaya mencari alternatif pendanaan untuk pembangunan infrastruktur. Berbagai skema sebelumnya pernah dilakukan sampai pada akhirnya tercetus ide membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang diberi nama Indonesia Investment Authority (INA). Lembaga ini punya tugas yang tidak mudah, yakni mengelola investasi serta memastikan pembangunan di negeri ini tidak lagi membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sepenuhnya.

Dalam sambutannya, Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly menjelaskan, cikal bakal pembentukan LPI atau INA sebetulnya sudah tercetus beberapa tahun lalu melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Pembiayaan Pembangunan Indonesia (LPPI). LPPI digagas untuk melakukan percepatan pembangunan sejumlah bidang antara lain infrastruktur, industri, pertanian, serta bidang lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Adapun, LPI atau INA itu sendiri sejatinya merupakan pengembangan konsep dan gagasan dari pembentukan LPPI sebelumnya.

“Dalam konteks ini, terdapat beberapa modifikasi konsep dari gagasan pembentukan LPPI yang telah disiapkan oleh pemerintah hingga kemudian menjadi LPI atau INA berdasarkan UU Cipta Kerja (UU Nomor 11 Tahun 2020) antara lain, status hukum, format kelembagaan, tugas, fungsi, wewenang hingga permodalan,” kata Yasonna, dalam Seminar Hukum Nasional bertajuk “Implementasi Konsep Sovereign Wealth Fund (SWF) dalam Menjamin Keberlangsungan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia” digelar secara hybrid Rabu (6/10) di Aula Moedjono lt.4 BPHN, Jakarta Timur.

Merujuk PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi, masih kata Yasonna, LPI atau INA ditugaskan untuk mengelola investasi pemerintah pusat mulai dari paling awal, yakni tahapan merencanakan hingga mengevaluasi investasi tersebut. Untuk pertama kali, LPI atau INA diberikan modal awal paling sedikit Rp 15 triliun yang secara yuridis dikategorikan sebagai bentuk kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, secara struktur organisasi, LPI atau INA memiliki dua organ utama, yakni dewan pengawas dan dewan direktur. Kedua organ ini menjadi kunci penting keberhasilan penyelenggaraan dan pengelolaan LPI atau INA.

Konsep investasi yang diusung LPI atau INA, kata Yasonna, lazim dikenal dengan istilah Sovereign Wealth Fund (SWF). Pengelolaan investasi dana abadi ini banyak diterapkan diberbagai negara seperti Uni Emirat Arab, Norwegia, Qatar, Tiongkok, India, Singapura, serta Hongkong. Secara spesifik, LPI atau INA punya misi penting, yakni meningkatkan investasi di negara terkait agar dapat diinvestasikan kembali di berbagai proyek domestik. Di samping itu, Yasonna menyebut, LPI atau INA diharapkan menjadi stimulus bagi keberlangsungan pembiayaan pembangunan nasional khususnya untuk meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI) sehingga berkontribusi dalam menurunkan rasio utang terhadap PDB Indonesia.

“Implementasi konsep SWF serta kehadiran INA perlu dijamin dan diyakinkan secara lebih luas kepada publik. Kementerian Hukum dan HAM RI berkomitmen penuh mendukung melalui dukungan regulasi lanjutan guna suksesnya LPI atau INA,” kata Yasonna.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI Prof Widodo Ekatjahjana mengatakan, selain merupakan salah satu perkembangan yang signifikan di bidang hukum ekonomi, alasan BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI mengangkat tema terkait konsep SWF dan tata kelola LPI atau INA adalah sekaligus untuk menjaring masukan dari stakeholders serta masyarakat luas yang mengikuti diskusi ini secara daring. Sebagai pemantik, BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI mengundang empat narasumber yang kompeten di bidang terkait.

“Dengan Seminar Hukum Nasional ini, diharapkan terwujud peningkatan pengetahuan dan informasi publik mengenai SWF dan LPI atau INA serta yang tidak kalah penting menghasilkan data dukung yang berdaya guna dan berhasil guna bagi pembentukan peraturan perundang-undangan dan pembinaan hukum nasional di masa mendatang,” kata Kepala BPHN.

Adapun, empat narasumber tersebut, yakni Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban, Chief Legal Counsel Indonesia Investment Authority (INA) Arisia Pusponegoro, Pakar Ekonomi Senior INDEF, Aviliani, dan Pakar Hukum Keuangan Negara FH Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha Simatupang.

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Yunan Hilmy, dalam sambutan penutupnya, menjelaskan LPI atau INA perlu diberikan dukungan dari segenap pihak agar maksud dan tujuan awal pembentukan lembaga sui generis ini bisa dirasakan dampaknya bagi Indonesia. Namun, kita perlu memberikan waktu bagi LPI atau INA untuk berkembang dan menunjukkan taringnya bahkan untuk berkiprah baik di dalam negeri maupun luar negeri.

“LPI atau INA sebagai SWF perlu memiliki integrasi protokol investasi yang mengatur norma, standar, sistem pengelolaan, penyelenggaraan, dan pertanggungjawaban INA sehingga tata kelola kelembagaan INA lengkap dan sempurna,” pungkas Yunan. (Humas BPHN)

Share this Post