Jakarta, BPHN.go.id – Paralegal menjadi salah satu aktor penting di balik kesuksesan program bantuan hukum cuma-cuma alias gratis yang diselenggarakan oleh pemerintah pasca lahirnya UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI menyadari, potensi yang dimiliki oleh Paralegal sepatutnya dikelola dengan apik sehingga tercipta kualitas yang standar diantara Paralegal yang bernaung di tiap-tiap Organisasi Pemberi Bantuan Hukum (OBH).

Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Kartiko Nurintias mengatakan, program bantuan hukum gratis sudah memasuki tahun yang kedelapan. Program prioritas nasional ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang tidak mampu untuk mendapatkan pendampingan ketika harus berhadapan dengan hukum. Fokus pemerintah saat ini adalah program bantuan hukum ini dapat diselenggarakan secara merata, berkualitas, dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Dalam rangka memenuhi tiga kriteria ini, terutama terkait kualitas pemberian bantuan hukum, BPHN keluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) salah satunya Paralegal supaya peran Paralegal dapat optimal dan profesional,” kata Kartiko, dalam Diskusi Publik yang digelar oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) berjudul “Mendorong Implementasi Kebijakan Pelatihan Paralegal yang Mengakomodasi Stakeholders Bantuan Hukum”, Selasa (14/9) secara virtual.

Permenkumham Nomor 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum, lanjut Kartiko, menjawab tantangan dalam implementasi program bantuan hukum khususnya yang terkait dengan aspek pemerataan dan kualitas pemberian bantuan hukum. Diakui Kartiko, pemberian bantuan hukum saat ini masih belum menjangkau ke daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) karena keterbatasan jumlah advokat yang bernaung di OBH. Peran Paralegal inilah yang kemudian didorong untuk mengisi kekosongan sebaran OBH yang belum merata.

Namun, Paralegal berbeda dengan advokat. Dari segi latar belakang pendidikan misalnya, Permenkumham Nomor 3 Tahun 2021 tidak mengatur keahlian yang spesifik untuk bisa diangkat menjadi Paralegal. Dalam beleid itu, syarat menjadi Paralegal, yakni berstatus WNI, berusia minimal 18 tahun, mampu membaca dan menulis, bukan anggota TNI, Polri, atau ASN, serta memenuhi syarat lain yang ditentukan oleh OBH. Meski begitu, Kartiko menilai perlunya standar kompetensi yang seragam antara Paralegal satu dengan lainnya sehingga pelayanan yang diberikan dalam bantuan hukum bisa dijaga kualitasnya.

“Paralegal yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) diharapkan mempunyai kemampuan memahami hukum dasar, memahami kondisi di wilayah sehingga dapat mendampingi masyarakat atau kelompok masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya. Paralegal ini jadi ujung tombaknya pemerintah di daerah 3T karena sebagian besar OBH ada di ibu kota Provinsi,” kata Kartiko.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Subbidang Program Bantuan Hukum BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Masan Nurpian, menambahkan diklat bagi calon Paralegal telah diatur secara teknis melalui Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Paralegal Nomor: PHN-53.HN.04.03 Tahun 2021 yang ditandatangani Kepala BPHN tanggal 30 Juni 2021. Setiap OBH, lanjut Masan, mengajukan permohonan diklat kepada Kepala BPHN dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan terutama terkait aspek kurikulum, yakni pengetahuan dasar, teknis, dan aktualiasi peran Paralegal.

“Bila sudah disetujui Kepala BPHN, maka waktu pelaksanaan di dalam kelas paling singkat tiga hari dan aktualisasi di luar kelas dilaksanakan selama tiga bulan. Di sini pentingnya, praktik aktualisasi oleh advokat dari OBH. Nanti baru dikeluarkan sertifikat kompetensi dari BPHN,” papar Masan.

*Tantangan di Masa Pandemi*
Sekjen PBHI Julius Ibrani mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 memberi tantangan bagi OBH dalam melaksanakan program bantuan hukum sehari-hari, termasuk penyelenggaraan diklat bagi calon Paralegal. Di sisi lain, situasi pandemi ini bisa dijadikan momentum bagi sejumlah pihak untuk merancang program diklat Paralegal yang produktif dan adaptif sehingga tujuan utama dari adanya diklat ini bisa direalisasikan.

“Kami berharap BPHN dan masyarakat sipil terus mengawal diklat ini dengan baik demi access to justice yang lebih baik lagi,” kata Ijul, sapaan akrab Julius.

Project Officer Bantuan Hukum PBHI Gina Sabrina mengatakan, diklat calon Paralegal harus tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19. Namun, dalam penelitian yang ia lakukan, Gina mengatakan OBH perlu mendapat dukungan dari pemerintah karena tidak semua OBH memiliki sumber daya yang mumpuni terutama berkaitan dengan anggaran. Pasalnya, pemerintah hanya memberikan dukungan anggaran terbatas pada bantuan hukum litigasi dan non litigasi. “Ke depan perlu ada dukungan sumber daya untuk diklat Paralegal. Bentuknya tidak harus pendanaan bisa saja tenaga pengajar atau bahan-bahan pembelajaran,” usul Gina.

Senada dengan Gina, Dosen Hukum Pidana FH Universitas Katolik Parahyangan Maria Ulfah berpendapat, selain perlu didukung oleh Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini BPHN, diklat calon Paralegal perlu juga didukung dengan penyempurnaan kurikulum. Dalam kesempatan itu, Maria memaparkan konsep Instructional Design: The ADDIE Approach yang alurnya terdiri dari analysis, design, development, implementation, dan evaluation.

“Jangan hanya mencetak Paralegal saja tetapi harus membangun Paralegal yang berkelanjutan sehingga berdampak pada penerima bantuan hukum,” kata Maria. (Humas BPHN) 


Share this Post