BPHN.GO.ID – Jakarta. Pro dan kontra dalam menyikapi pembahasan rancangan undang-undang adalah hal yang lumrah. Namun, apabila polemik itu sampai menghambat proses pembentukan suatu regulasi, kondisi seperti itu yang seharusnya dihindarkan. Poin itulah yang diangkat oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Moh Mahfud MD dalam Diskusi Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, Senin (14/6) bertempat di Hotel JS Luwansa – Jakarta Selatan.

 

Dalam sambutan pembukanya, Menko Polhukam mengatakan perdebatan selalu mewarnai di setiap proses pembentukan peraturan apapun termasuk RUU KUHP. Dalam hal ini, pemerintah mengambil langkah dengan mengusahakan agar dilakukan suatu kesepakatan (resultante) yang demokratis, yakni semua pihak didengar masukan dan pandangannya. Sehingga, pada akhirnya nanti, keputusan yang diambil nantinya merupakan keputusan yang konstitusional karena telah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

 

“Hukum itu adalah resultante atau hasil kesepakatan dari berbagai stakeholder yang tentu berbeda-beda. Orang berbeda pendapat, lalu berdebat, lalu diambil keputusan. Keputusan yang dianggap mewakili kepentingan bersama yang berbeda-beda itu disebut resultante. Oleh karena itu, menjadi wajar sebuah resultante itu diputuskan, terjadi perdebatan panjang karena yang satu ingin ini - yang satu ingin itu dan sebagainya,” kata Menko Polhukam.

 

Sejak pertama kali dibahas hingga sekarang, Menko Polhukam menilai perdebatan terkait RUU KUHP ibarat debat yang tak kunjung berakhir. Menurutnya, pangkal persoalan itu mengerucut kepada dua hal utama. Pertama, latar belakang kemajemukan bangsa Indonesia ditambah lagi konsep rekodifikasi KUHP baru menjadi tantangan dalam rangka melakukan agregasi berbagai hukum adat yang ada dan hidup di tengah masyarakat ke dalam KUHP yang bersifat nasional. Yang Kedua, perdebatan panjang antara kelompok Universalisme dan Partikularisme. Padahal konsep KUHP yang baru, kata Menko Polhukam, diciptakan dengan konsep hukum itu sesuai kebutuhan masyarakat karena hukum melayani masyarakat, ketika masyarakatnya berbeda maka hukumnya pun berbeda.

 

“Kalau pelan-pelan lebih dari 50 tahun untuk bicara hukum, itu terlalu berlebihan. Mari kita segera cari resultante baru. Toh, ada instrumen hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) dan legislative review,” katanya. “Yakin tidak ada 100 persen orang setuju, kita cari yang terbaik. Ini menyangkut hal yang fundamental, ini harus segera disikapi secara legislasi,” sambung Menko Polhukam.

 

Di tempat yang sama, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof Eddy OS Hiariej mengatakan, selama puluhan tahun atau lebih tepatnya 76 tahun bangsa Indonesia menggunakan KUHP yang ‘tidak pasti’. Maksud ‘tidak pasti’ di sini adalah selama ini proses peradilan di negara kita tidak merujuk kepada satu KUHP yang resmi disahkan oleh pemerintah. Padahal, bukan hanya satu-dua orang atau puluhan-ribu orang, sudah jutaan orang dihukum dengan menggunakan KUHP yang ‘tidak pasti’ itu. Makanya, menjadi sangat genting untuk mengesahkan RUU KUHP baru.

 

“Saya nyatakan demikian karena ada perbedaan terjemahan signifikan yang tidak pernah kita sadari. Secara acak, bapak/ibu coba buka Pasal 110 KUHP tentang Permufakatan Jahat. Oleh Moeljatno dikatakan permufakatan jahat sebagaimana Pasal 104-108 KUHP dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan itu dilakukan, itu berarti pidana mati. Lalu, coba Pasal 110 KUHP milik R Soesilo, di mana permufakatan jahat sebagaimana Pasal 104-108 KUHP, dipidana maksimum 6 tahun,” kata Wamenkumham.

 

Contoh yang lain, lanjut Wamenkumham, terdapat di Pasal 362 KUHP terkait Pencurian. Dalam KUHP versi Moeljatno, dipergunakan frasa ‘Melawan Hukum’ sementara itu dalam KUHP versi R Soesilo untuk pasal yang sama justru menggunakan frasa ‘Melawan Hak’. Perbedaan ini sangat fundamental terutama terkait dengan aspek pembuktian di persidangan sehingga sudah sangat mendesak untuk segera memiliki KUHP baru yang telah disempurnakan.

 

“Hal-hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga kalau kita menunda RUU KUHP untuk disahkan, itu berarti suara-suara yang ingin status quo dan ingin kita berada dalam ketidakpastian hukum, yakni menghukum orang dengan KUHP yang ‘tidak pasti’,” kata Wamenkumham.

 

Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, Prof R Benny Riyanto mengatakan, pemerintah sejak awal tahun 2021 telah menggelar sosialiasi RUU KUHP melalui Diskusi Publik ke-12 kota termasuk di Jakarta pagi hingga siang hari ini. Diawali di Medan tanggal 23 Februari, lalu ke kota Semarang tanggal 4 Maret, Denpasar tanggal 10 Maret, Yogyakarta tanggal 18 Maret, Ambon tanggal 26 Maret, Makassar tanggal 7 April, Padang tanggal 12 April, Banjarmasin tanggal 20 April, kemudian tanggal 3 dan 27 Mei di Surabaya dan Mataram serta kota Manado tanggal 3 Juni pekan lalu.

 

“Selain melibatkan akademisi dan pakar hukum pidana, Diskusi Publik ini turut melibatkan berbagai lapisan masyarakat meliputi mahasiswa, organisasi masyarakat, penegak hukum, dan lembaga bantuan hukum dengan jumlah peserta rata-rata mencapai 400 hingga 500 peserta di setiap kota dengan metode hybrid (luring dan daring),” kata Kepala BPHN.

 

Di setiap roadshow, Kementerian Hukum dan HAM memberikan penjelasan seputar enam tema utama, yakni tindak lanjut pembahasan RUU KUHP, perkembangan RUU KUHP, pembaruan RUU KUHP, struktur RUU KUHP, isu krusial RUU KUHP dan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP. Tema tersebut, merupakan elemen penting dalam RUU KUHP yang disajikan oleh Anggota Komisi III DPR RI dan akademisi serta pakar di bidang hukum pidana yang terlibat langsung dalam pembahasan RUU KUHP.

“Diskusi Publik RUU KUHP ini diselenggarakan atas dasar penundaan pelaksanaan rapat paripurna RUU KUHP pada tanggal 26 September 2019 yang disebabkan oleh adanya beberapa substansi dalam RKUHP yang menuai sorotan di masyarakat,” tutup Kepala BPHN. (Humas BPHN)

Share this Post