BPHN.GO.ID – Jakarta. Kementerian Hukum dan HAM sebagai pemrakarsa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terus berupaya untuk memberikan penjelasan komprehensif kepada masyarakat mengenai pasal-pasal dalam RUU tersebut. Setelah Medan, Banjarmasin dan Surabaya, Kemenkumham melanjutkan program sosialisasi melalui kegiatan Diskusi Publik RUU KUHP di Golden Palace Hotel Lombok kota Mataram pada Kamis (27/05) silam. 

Dalam sambutannya, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto, menyampaikan bahwa Kemenkumham melibatkan berbagai lapisan masyarakat dalam Diskusi Publik RUU KUHP ini. “Lapisan masyarakat yang dilibatkan meliputi akademisi, mahasiswa, organisasi masyarakat, lembaga bantuan hukum, dan aparat penegak hukum dengan jumlah lebih dari 200 orang. Berbagai elemen masyarakat yang menaruh perhatian pada RUU KUHP akan berpartisipasi dalam dua sesi utama: Sesi Pemaparan dan Sesi Tanya Jawab. Kami harapkan dalam sesi tanya jawab tersebut, peserta diskusi dapat berpartisipasi aktif dan segala jenis kontribusi peserta baik dalam bentuk pertanyaan maupun saran akan kami catat sebagai masukan-masukan terhadap terbentuknya RUU KUHP yang lebih baik”, tutur Benny.

Pembentukan RUU KUHP telah melalui langkah panjang yang dimulai sejak Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Kemenkumham, Eddy Omar Sharif Hiariej dalam keynote speech yang disampaikannya. “Lamanya waktu yang ditempuh untuk membentuk suatu kodifikasi hukum pidana juga terjadi di negara-negara asal KUHP Indonesia. Belanda, dengan luas negara yang jauh lebih kecil dan masyarakat yang lebih homogen dibanding Indonesia, memerlukan waktu sekitar 70 tahun untuk menyusun kodifikasi hukum pidananya setelah diberi kemerdekaan oleh Perancis”, ujar Eddy.  

Eddy menambahkan, tidaklah mudah bagi negara yang sangat multikultur dan multietnis untuk membuat kodifikasi hukum pidana yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan. “Jangka waktu yang panjang ini juga mengakibatkan bergantinya akademisi maupun praktisi yang duduk dalam tim pembentukan RUU KUHP. Selain itu, Pemerintah harus tetap terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan kementerian, lembaga, organisasi, masyarakat, organisasi profesi, praktisi, akademisi, dan pakar sesuai dengan bidang keahliannya untuk terus menyempurnakan RUU KUHP supaya tetap sesuai dengan kaedah hukum, asas hukum pidana, prinsip, dan tujuan pembaruan hukum pidana”, papar Eddy.

Kegiatan Diskusi Publik ini merupakan bagian dari serangkaian sosialisasi menyeluruh yang diagendakan oleh Kemenkumham untuk menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. Diharapkan, Diskusi Publik ini dapat menghasilkan masukan-masukan yang konstruktif guna menghasilkan hukum pidana materiil yang lebih baik bagi Indonesia. **(HUMAS BPHN)

Share this Post